Aku hanya
kembali mendapati dua piring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapinya,
serta dua gelas penuh susu putih yang terletak disamping kedua piring itu.
Bukan hal asing juga ketika kecup mesra seorang ibu hanya terwakil oleh sebuah
note yang tertempel dipintu kulkas. Sekedar pesan singkat untuk mengingatkan
agar aku dan Kresna adikku berhati-hati saat berangkat sekolah.
Bukan hal
baru, bukan pula sesuatu yang butuh penyesuaian. Kami terbiasa ditinggal Ayah
dan Ibu bekerja sedari pagi, setiap hari. Bahkan, tak pernah ada lagi ucapan
“selamat tidur” yang kami dengar langsung dari mereka, karena memang saat mereka
kembali kerumah, kami telah terlelap dan tak pernah menyadari kepulangan
mereka. Mungkin Kresnapun telah memaklumi akan hal itu, tapi tetaplah pada
kenyataan yang akupun (pernah) merasakannya, pastilah Kresna sangat membutuhkan
sosok ayah dan Ibu yang setiap pagi dapat memberikan pukpuk mesra sebelum kami
berangkat sekolah.
***
Pagi ini
adalah hari pembagian raport disekolah Kresna. Sejak seminggu lalu, Kresna
sudah merengek pada Ibu agar bisa menemaninya mengambil raport. Dan ibupun
telah berjanji untuk memenuhi permintaannya. Sudah terpancar dari raut wajah
Kresna yang jauh lebih merona dari biasanya, senyumnya mengembang lebar,
bahagianya terasa olehku. Aku paham, kebahagiaan yang berbisik pada Kresna adalah
sesuatu yang amat sangat ia rindukan.
4 tahun
sudah setiap waktu pembagian raport aku dan Kresna hanya mengambilnya
sendirian. Tanpa ayah ataupun ibu yang menjadi wali layaknya anak lain. Bahkan
mungkin ayah dan ibu tak pernah tahu bagaimana nilai yang tertera pada raport
kami. Prestasi apa yang kami dapat untuk membahagiakan mereka. Dan rasanya,
mereka (mungkin) tak pernah memperdulikan itu. Tapi hari ini, mungkin alur
cerita akan berbeda dari biasanya. Mungkin ada kebahagiaan baru yang Kresna
rasakan setelah sekian lama kebahagiaan itu tak pernah menyapa kami; yaitu
perhatian ayah dan ibu yang telah dicuri paksa oleh kesibukan mereka.
***
Hari ini
telah masuk musim libur semesteran. Dan hal itu memaksaku untuk berdiam diri di
rumah ditemani sepi dan rasa rasa sakit yang menyerang kepalaku. Ya, aku tak
enak badan setelah kemarin sore aku terpaksa hujan-hujanan sepulang les.
Mata dan
hidung memerah, serta suhu badan yang tak kunjung merendah membuatku hanya bisa
merebahkan badan di sofa ruang tv. Andai saja ada ibu disini, andai saja ada
yang mengompres kepalaku, yang membuatkan bubur, yang mengingatkanku untuk
minum obat. Ah, aku rindu masa itu, masa dimana masih ada perhatian ibu yang
memanjakanku, masa dimana ada ayah yang tak pulang larut, yang mengantarkanku
pergi ke dokter. Oh Tuhan, berlebihankah aku jika berharap diperhatikan lagi oleh
orangtuaku sendiri?
Ah sudah,
fikiranku terlalu melebar kemana-mana. Terlalu mengasihani diriku sendiri, dan
cenderung menyalahkan kedua orangtua yang telah rela berlelah-lelah kerja hanya
untuk menghidupi aku dan adikku. Cukup! Aku menghentikan pemikiran kasar dan
tak tahu diri itu. Aku menutup kedua mataku, mencoba membayangkan satu dua
domba melompat-lompat dalam imajiku. Aku tertidur, tertutup selimut lembut
bergambar Pooh; tokoh kartun kecintaanku.
***
Braakkk..
suara itu mengagetkanku, spontan membangunkanku dari tidur. Mamaksaku merasakan
sakit dibagian kepala. Badanku masih tak enak, hidung tersumbat, pening yang
tak kunjung reda. Namun aku memaksakan diriku untuk bangun dari tempat
ternyaman saat itu.
Kresna..
ada apa dengan adikku? Hingga sekeras itu ia membanting pintu kamarnya. Pertanyaan itu memenuhi isi otakku. Aku mencoba membuka pintu kamarnya. Krek. Tepat sekali, dikunci. Tak biasanya ia seperti ini.
“dek, kenapa? Ko pulang ga ucap salam dulu?” aku merapatkan telingaku pada daun pintu kamar Kresna, berharap ia segera menjawab pertanyaanku. Namun tak berhasil, aku hanya mendengarnya sesenggukan. Ya, dia menangis.
“buka
pintunya boleh? Kaka mau masuk dek” aku kembali bertanya pada Kresna,
pura-pura tenang.
Krek. Dia
membuka pintu kamarnya, lalu lekas kembali ke kasur dan menenggelamkan seluruh
wajahnya pada bantal. Pelan-pelan aku memasuki kamarnya, lantas duduk disamping
adikku yang tengah dalam posisi tengkurap. Wajahnya tak terlihat, hanya saja
kulihat permukaan bantal yang basah. Kresna menangis, walau lirih ku dengar
isaknya.
“ibu nggak
dateng nemenin kamu ya dek?” aku mencoba memecah bungkam.
Persis aku merasakan hal sama dengan kresna. Menyakitkan. Namun bagiku,
terlihat kuat dihadapan Kresna adalah hal terpenting yang harus aku lakukan.
Kresna
menganggukkan kepalanya. Ia masih sesenggukan, lebih kencang. Airmata tak dapat
lagi ku tahan. Namun lagi, aku masih harus terlihat kuat didepan adikku.
“ibu gak
sayang sama Kresna ya kak? Ibu kan udah janji mau ambilin raport Kresna, tapi
mana? Ibu bohong” tangisnya mengeras. Aku tak tahu, sama kah rasa
sakitnya denganku, atau jauh lebih dari itu?
Aku mencoba membelai kepalanya. Berusaha menguatkannya dengan jemariku, yang seandainya Kresna tau, jauh lebih rapuh dari yang ia bayangkan. “dek, ayah sama ibu kan sibuk, adek tau kan? Nah mungkin, hari ini ibu punya kerjaan yang banyak banget, mangkanya gak bisa ambil raport kamu” lagi-lagi aku harus berpura-pura menguatkannya dengan alibi semacam itu. Mungkin alibiku benar, namun sejujurnya hatiku menolaknya, mentah-mentah..
“tapi kan
kak, Kresna malu diledek sama temen-temen. Kresna udah janji bakal ajak ibu pas
ambil raport. Tapi ibu malah ga ada. Kresna malu ka dibilang tukang bohong sama
temen-temen.” Kresna masih sesenggukan, walau terdengar tangisnya
tak sehebat tadi.
aku tersenyum, berusaha menghibur diri. “temen-temen Kresna kan gak tau Ibu kerjanya sibuk kaya gimana, mangkanya mereka bilang gitu. Lagian, Kresna kan beneran ga bohongin mereka”. Entah ini alibi keberapa kalinya yang aku ucapkan. Kuharap, Kresna tak pernah tahu bahwa kata-kataku tak lebih hanya untuk menguatkannya, dan juga menguatkan diriku sendiri.
aku tersenyum, berusaha menghibur diri. “temen-temen Kresna kan gak tau Ibu kerjanya sibuk kaya gimana, mangkanya mereka bilang gitu. Lagian, Kresna kan beneran ga bohongin mereka”. Entah ini alibi keberapa kalinya yang aku ucapkan. Kuharap, Kresna tak pernah tahu bahwa kata-kataku tak lebih hanya untuk menguatkannya, dan juga menguatkan diriku sendiri.
Kresna memeluk tubuhku. Ia menangis dipundakku. Seolah bentuk pengaduan atas rasa sakit yang ia rasakan tadi. Tuhan, rasanya ingin aku memeluknya lebih erat dari ini. Dia masih terlalu kecil untuk merasakan “pengabaian” semacam ini. Dia sepantasnya mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan; perhatian.
***
Pukul 19.00. Kresna tertidur lebih
sore dari biasanya. Mungkin terlalu lelah karena semenjak siang hingga sore
tadi ia habiskan untuk menangis. Adikku itu.. lucu benar. Dengan mata yang
sembab dan sisa-sisa sesenggukannya, ia tertidur pulas diatas kasurnya. Wajah polos anak berusia 11 tahun ini, mendamaikanku..
Malam ini aku akan tidur bersama
Kresna dikamarnya. Lampu ruang tengah aku matikan. Ku tutup semua gorden, dan
ku kunci pintu depan. Lalu aku mengambil selembar kertas pada note besarku, dan
kembali memasuki kamar Kresna..
Aku ingin menulis, tentangku..
tentang Kresna.. tentang Ayah dan Ibu; tentang semesta kita..
Dear, dua pelita pelengkap hidup Karin, dan Kresna..
Senang betul rasanya jikalau bisa melihat secara langsung
bagaimana indahnya senyuman ayah dan ibu. Bukan raut lelah, bukan wajah penuh
kantuk karena terlalu malam pulang ke rumah.. pasti istimewa, pasti penuh
kedamaian, penuh segalanya yang jadi sumber bahagia ketika pagi kami terbangun
dari tidur..
Boleh Karin berucap sesuatu? Karin betul-betul rindu
pelukan Ibu, puk-puk penuh makna dari ayah, semuanya, segalanya yang dulu
pernah Karin dan Kresna punya. Kapan ya terakhir kalinya Karin dan Kresna dapat
itu semua? Kalau tak salah, 3 bulan lalu saat kita makan bersama bertepat pada
hari ulangtahun Kresna. Indah, mengesankan. Walau itu tak lama, walau itu hanya
sisa-sisa waktu dari kesibukan Ayah dan Ibu bekerja. Tapi tak apa, kami sangat
bahagia kalian bisa meluangkan waktu berharga itu untuk kami.
Ayah, ibu. Karin tak tega melihat Kresna menangis
sesenggukan layaknya tadi. Hati Karin teriris, Karin mungkin tak merasakan
sakit yang Kresna rasakan, tapi Karin tahu persis bagaimana rasanya diabaikan
dan tidak diprioritaskan. Sangat menyakitkan.
Hal sepele mungkin, hanya pengambilan raport. Tapi itu
sangat berharga bagi Kresna. Momen-momen saat ia bisa menunjukan hasil belajar
dan segala prestasinya, untuk kalian, hanya untuk membuat kalian bangga. Kresna
ranking 1, untuk kesekian kalinya. Ayah dan ibu tahu?
Suhu tubuh Karin pagi ini 42 derajat celcius. Tubuh Karin
menggigil, hidung dan mata Karin memerah. Ya, Karin demam.. Sempat terlintas
dibenak Karin, mungkin akan sangat bahagia jika dalam situasi itu dapat
merasakan perawatan ibu, dibuatkan bubur, dikompreskan air es, diingatkan untuk
minum obat, dan semuanya. Egoiskah Karin seperti itu?
Maaf jika Karin lancang. Karin hanya tak kuat lagi
menyimpannya sendirian . dan Karin rasa, ini saatnya untuk Karin utarakan..
Karin dan Kresna tak begitu butuh gadget baru, yang
mewah, yang keren. Karin dan Kresna tak terlalu butuh mengikuti privat ditempat
yang mahal dan ternama. Tapi yang Karin dan Kresna butuh adalah sosok kalian,
bukan hanya pada selembar note kecil, bukan hanya sebatas pesan singkat
pengingat makan dan hati-hati saat sekolah. Kami butuh kalian layaknya
anak-anak lain. Ditemani belajar, ditemani jalan-jalan, ditemani menonton tv,
ditemani berdiskusi, semuanya, seperti yang lainnya.. Karin rindu masa itu,
masa dimana ayah dan ibu tak terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, masa dimana
ayah dan ibu masih punya banyak waktu dan perhatian untuk kami, Karin rindu
semua itu..
Ya, Karin tahu.. semua yang ayah dan ibu lakukan adalah
hanya untuk membuat Karin dan Kresna bahagia dengan keadaan yang berkecukupan.
Tapi tak lebih dari itu, kami kesepian, kami kehilangan sosok kalian.
Maaf, maaf.. Karin sama sekali tak bermaksud membuat ayah
ataupun ibu marah dan tersinggung. Karin hanya ingin sekedar bercerita, berbagi
apa yang Karin rasakan. Karena Karin tahu, kalian tak pernah punya banyak waktu
untuk mendengar cerita Karin secara langsung..
Terimakasih yah, bu.. sudah meluangkan sedikit waktu
untuk mendengar cerita Karin.
Semoga airmata dan segala peluh ayah dan ibu akan Allah
balas dengan surga nantinya..
I love You..
I love You..
Airmataku
tak tertahan. Aku menuju ruang kerja ayah dan ibu. Aku taruh selebar kertas ini
diatas meja kerja ayah. Tuhan, semoga kelegaan yang aku rasakan setelah
menuliskan ini tak akan menyakiti hati ayah dan ibu yang sangat aku sayangi.
Aku mencintai mereka.
Aku kembali
masuk ke kamar Kresna, kudapati tubuhnya yang mungil tengah tertutup selimut
lucu bergambar naruto. Sedang apapun Kresna, ia tetap menggemaskan bagiku.
***
Entah pagi, ataupun masih tengah
malam. Aku terbangun, dan berusaha membuka selimutku. Namun entah kenapa serasa
ada yang menahan selimutku. Ku buka perlahan.. ibu tengah tertidur disampingku,
dengan pakaian kantornya, lengkap.. sedang ayah, tertidur di lantai sebelah
posisi Kresna. Tuhan.. kalau memang ini mimpi, izinkan aku tertidur lebih lama
lagi. Namun jika ini sesuatu yang nyata, tolong biarkan aku menikmati kebahagiaan
ini selamanya. Air mataku menetes, lagi.. namun ku rasa, ini begitu beda,
istimewa, bahagia..
Karawang -16022014-
With Love,
Dinnur
0 Komentar